Ruwetnya Polemik Agraria di Negeri Ini

Ruwetnya Polemik Agraria di Negeri Ini

MAMUJU – Aliansi Pejuang Reforma Agraria (Ampera) Sulawesi Barat menilai ada benang kusut dalam penyelesaian konflik agraria di negara ini.

Rakyat — khususnya petani dan nelayan — belum mendapat kedaulatan atas ruang hidupnya.

Padahal, bunyi ayat 3 pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi dan air dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

“Sudah 63 tahun kita memperingati hari tani nasional tetapi masih saja para petani dan nelayan secara penuh belum mendapatkan kedaulatan atas ruang hidupnya,” ujar massa Ampera saat menggelar aksi di kantor gubernur Sulawesi Barat, Selasa, 26 September 2023.

Menurut mereka, negara masih saja melegitimasi praktik perampasan ruang hidup petani dan nelayan, lewat regulasi, pembangunan, serta investasi.

Alhasil, rakyat pun menderita kemiskinan secara struktural. Bukan itu saja, praktik tersebut selalu saja memicu letusan konflik agraria.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sebanyak 212 kali terjadi letusan konflik agraria di tahun 2022 di atas tanah — secara keseluruhan — seluas 1.035.613 hektar — yang tersebar di 459 desa dan kota dengan total masyarakat terdampak setidaknya berjumlah 346.402 keluarga.

Jumlah konflik tersebut dikatakan meningkat dibanding tahun 2021 yang hanya berjumlah 207 kali.

Pada 2023, letusan konflik agraria ternyata kembali masif terjadi. Di bulan September 2023, Komnas HAM mengatakan bahwa sepanjang delapan bulan terakhir telah tercatat 692 kali terjadi kasus konflik agraria di berbagai daerah Indonesia.

Aksi mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Ampera Sulawesi Barat, Selasa, 26 September 2023

Kasus konflik agraria yang terjadi diakui seringkali dipicu oleh proses pembangunan proyek strategis nasional atau pemberian izin di sektor perkebunan, pertambangan, dan energi.

“Baru-baru ini pengurus negara (pemerintah) kembali mempertontonkan dengan bangga upaya perampasan lahan rakyat secara sepihak yang ada di Pulau Rempang dan Galang melalui rencana pembangunan PSN Rempang Eco City yang justru berdampak pada terjadinya letusan konflik dengan berujung ditangkapnya 28 warga setempat karena atas dasar berjuang mempertahankan hak atas ruang hidupnya,” tegas koordinator Ampera, Yudi Toda.

Sebelumnya juga, diketahui ada 3 orang petani yang juga ditahan buntut dari konflik lahan antara warga desa Pakel dengan perusahaan PT Bumi Sari.

Bahkan pada konteksnya di Provinsi Sulawesi Barat sendiri, tepatnya di Kabupaten Pasangkayu, di bulan Maret tahun 2022 ada lima masyarakat petani Kabuyu yang ditahan di Polres Pasangkayu, buntut konflik lahan antara warga setempat dengan perusahaan sawit PT. Mamuang.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat bahwa sejak tahun 2017, PT Mamuang yang merupakan anak perusahaan dari PT. Astra Agro Lestari (perusahaan sawit terbesar kedua di Indonesia) telah mengkriminalisasi 7 orang masyarakat petani yang selama ini berjuang untuk mendapatkan hak atas ruang hidupnya di tengah gempuran investasi perkebunan sawit.

Ampera menyatakan, berbagai kasus itu menandakan bahwa konflik agraria yang terjadi baik secara nasional maupun lokal Sulbar adalah bukti pemerintah dalam hal mengatur tata kelola agraria masih belum berpihak kepada rakyat.

“Bahkan malah sebaliknya justru lebih berpihak pada korporasi.”

Keberpihakan pemerintah kepada korporasi dibanding rakyat dalam hal penguasaan lahan telah dikuatkan melalui laporan WALHI bulan September tahun 2022.

Laporan itu menyebut bahwa negara telah mengalokasikan lahan seluas 36,8 juta hektar kepada korporasi dan untuk rakyat hanya seluas 3,1 juta hektar se-Indonesia.

Artinya, sekitar 92% negara telah mengalokasikan lahan untuk korporasi dan hanya 8% yang dialokasikan untuk rakyat.

“Mengingat bahwa hari jadi Sulbar baru saja kita peringati bersama dengan penuh semangat, seharusnya kesadaran akan hal yang diulas di atas sebelumnya bisa mendorong pemerintah agar segera menyelesaikan akar masalah terjadinya konflik agraria di Sulbar, bahkan sederetan masalah baik itu dari segi pendidikan, kesehatan, maraknya kriminalisasi dan pelecehan seksual, bahkan sampai praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang ada di Sulbar,” jelas Ampera.

Juru bicara Ampera yang juga aktivis Walhi, Refli Sakti Sanjaya, menjelaskan, aksi hari ini adalah aksi serentak yang dilakukan oleh seluruh pejuang agraria di seluruh Indonesia sebagai peringatan puncak hari tani nasional.

“Aksi ini juga kami lakukan atas respons solidaritas terhadap saudara dan orang tua kita di Pulau Rempang dan Galang yang saat ini terancam dirampas ruang hidupnya oleh pengurus negara,” ungkap Refli.

Pihaknya juga mendesak Pemprov Sulawesi Barat agar segera melakukan audit perizinan terhadap seluruh perusahaan sawit dan tambang.

Pernyataan kepala dinas kehutanan Sulbar yang mengatakan bahwa beberapa perusahaan sawit telah menerobos kawasan hutan lindung di kabupaten Pasangkayu, sambung Refli, adalah bukti terjadinya pelanggaran hukum.

“Jadi wajar saja ketika kita sering melihat fenomena kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan sawit terhadap warga bahkan petani yang ada di Sulbar melalui upaya perampasan lahan. Sebab jangan kan lahan warga, kawasan hutan lindung pun ikut pula diserobot,” kata dia.

Refli pun meminta agar seluruh tanah rakyat yang telah dirampas oleh perusahaan-perusahaan sawit di Sulbar segera dikembalikan.

Ampera menyampaikan sejumlah tuntutan dari isu nasional maupun lokal Sulawesi Barat.

Isu nasional:
1. Mendesak Presiden Jokowidodo untuk segera menghentikan rencana pembangunan PSN Rempang Eco City.
2. Bebaskan tanpa syarat 28 warga Rempang yang ditangkap dan stop kriminalisasi terhadap pejuang agraria.
3. Mendesak Presiden Jokowidodo untuk segera menghentikan rencana PSN di Sulbar.
4. Segera laksanakan reforma agraria sejati.
5. Naikkan upah buruh.
6. Wujudkan sistem pendidikan murah.
7. Wujudkan jaminan kesehatan murah.
8. Turunkan harga BBM & Bahan Pokok.
9. Cabut UU CK No. 6 tahun 2023 dan segala UU yang anti kepentingan rakyat.
10. Segera sahkan RUU Masyarakat Hukum Adat.
11. Stop kriminalisasi terhadap gerakan rakyat.
12. Tuntaskan kasus pelanggaran HAM.

Tuntutan lokal:
1. Tolak Penyusunan RTRW & RZWP3K yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil.
2. Mendesak Pemerintah untuk segera melakukan audit perizinan terhadap seluruh perusahaan sawit & perusahaan tambang yang ada di Sulbar.
3. Cabut izin perusahaan sawit yang menerobos hutan lindung & lahan warga di Sulbar.
4. Kembalikan tanah warga yang telah dirampas oleh perusahaan sawit di Sulbar.
5. Tolak praktek reklamasi & tambang di pesisir Sulbar.
6. Segera bentuk PERDA hak ulayat adat di Sulbar.
7. Wujudkan pemerataan sarana & pra-sarana pendidikan di Sulbar.
8. Bangun dan aktifkan SPBU Nelayan secara merata di Sulbar.
9. Tuntaskan kasus pelecehan seksual yang ada di Sulbar.
10. Hapuskan KKN di Sulbar.

CATEGORIES
TAGS
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)
Disqus (0 )