“Three for Plastic Hearts” cara seniman muda pahami fenomena dunia

admin

Jakarta (ANTARA) – Komunitas Salihara Arts Center menggelar pameran seni rupa “Three for Plastic Hearts” hasil karya tiga perupa pemenang Kompetisi Karya Trimatra Salihara 2019 yaitu Andrita Yuniza, Argya Dhyaksa, dan Wildan Indra Sugara untuk menunjukan pemahaman mereka terhadap fenomena dunia yang terjadi dewasa ini.

Pameran itu diadakan secara hibrid di Galeri Salihara hingga 30 Novemeber 2021 mendatang dan mengajak masyarakat untuk bisa menikmati keindahan dari karya- karya seni itu.

“Dengan pameran ini kami ingin memotret karya-karya dan gagasan mereka, baik dari dekat maupun jauh, dalam rentang sekitar dua tahun terakhir,” ujar Kurator Seni Rupa Komunitas Salihara Asikin Hasan dalam keterangannya dikutip, Minggu.

Asikin menyebutkan dalam karya- karya yang dihadirkan lewat “Three for Plastic Hearts” ada dominasi besar dari teknologi yang menjadi teman sehari- hari generasi masa kini.

Tidak hanya berfokus pada proses penciptaan, karya- karya para seniman muda itu kini juga harus memikirkan efek estetis seperti yang berkembang mengikuti perkembangan tren.

“Kepekaan rasa yang bertaut pada rupa dan bentuk tidak lagi menjadi satu-satunya aspek dalam karya-karya mereka. Kehangatan emosi yang biasanya membawa kita terharu, kini tergerus oleh soal-soal yang selama ini tidak kita anggap sebagai bagian dari seni itu sendiri…Mereka tertarik pada masalah lingkungan, pencemaran air, nasib planet bumi dan umat manusia,” ujar Asikin Hasan.

Setelah melalui perjalanan panjang sejak memenangi Kompetisi Karya Trimatra Salihara 2019, ketiga perupa ini memperlihatkan bahwa perkembangan teknologi masa kini, kondisi sosial budaya, dan lingkungan tempat mereka tinggal, memberi pengaruh yang luas pada kelahiran karya-karya mereka.

Hal ini segera bisa kita lihat misalnya pada karya-karya Andrita Yuniza, yang secara khusus punya perhatian terhadap masalah lingkungan.

Dalam karya-karyanya pada sebuah kotak berlampu, ia menampilkan pelbagai sampah organik yang telah mengalami transformasi bentuk simbol-simbol, dan yang lain dalam bentuk lembaran. Karya-karya tersebut dibuatnya sedemikian rupa untuk menghadirkan warna-warna yang menarik.

Baca juga: 33 Auction lelang 163 karya dari puluhan seniman, simak tanggalnya

Dalam salah satu karya lain Andrita, ia akan mentransfer suara-suara dan rupa yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Karya ini pengembangan dari gagasan sebelumnya berjudul “Mooi Indie”, pertanyaan atas keindahan lanskap tanah Jawa yang bisa jadi tak lagi sepenuhnya sebagaimana digambarkan dalam lukisan masa kolonial itu.

Andrita dalam karyanya mengambil sampel air dari Sungai Citarum dan Citarik, menemukan bahwa air sungai tersebut telah memiliki corak dari campuran fosfat (jingga), nitrat (kuning), kromium (hijau), dan zat kimia hasil limbah industri tekstil.

Selanjutnya Wildan Indra Sugara juga tak jauh dari upaya merekrut sampah-sampah industri yang, ditemukannya baik saat tinggal di Jerman maupun di Indonesia.

Berbeda dengan Andrita yang mengolah materi sampah hingga pada bentuknya yang canggih, Wildan membiarkan saja sampah itu sebagaimana adanya. Sampah-sampah itu punya warna, punya riwayat, kelak akan mengalami proses kehancuran pada dirinya sendiri.

Dalam karyanya yang baru, ia tidak lagi hanya membuat duplikasi televisi dengan material cor semen, melainkan menghadirkan hebel, sejenis bata berwarna putih yang kini makin populer untuk pembuatan tembok rumah.

Ia juga menggunakan obyek temuan dalam karya-karyanya seperti kursi plastik, mesin printer bekas, dan lain sebagainya. Ia rupanya ingin mengajak pengunjung berkontemplasi lewat benda temuannya.

Terakhir ada Argya Dhyaksa yang dalam karyanya seperti mengatakan bahwa tidak akan pernah ada yang sempurna.

Hal itu bisa jadi bersangkut paut dengan pengalamannya sebagai seorang keramikus yang, senantiasa berdebar-debar; apakah keramik di dalam tungku itu akan berhasil atau cacat dan rusak selama proses pembakaran.

Keramikus muda itu menunjukan ketidaksempurnaan yang dimaksudnya dalam tulisan plesetan dan diabadikan pada sebuah bentuk menyerupai prasasti.

Sebagai seorang seniman, dibanding dua temannya yang sangat serius dalam berkarya, Argya memiliki daya bermain-main yang kuat.

Ia juga membuat keramik-keramik mungil yang dimasukkannya ke dalam botol. Lebih ekstrim lagi, ia menempatkan sebuah pelantang suara atau headphone di salah satu dinding yang sebenarnya tidak terdengar suara apa-apa, kecuali kehadiran headphone itu sendiri.

Untuk mengikuti pameran seni rupa ini atau mendapatkan informasi lebih jauh, silakan klik https://salihara.org.

Baca juga: Komunitas Salihara kembali selenggarakan Festival Sastra dan Gagasan

Baca juga: Mencari makna kehidupan dari Tarian Dervish

Baca juga: Jim Adhi Limas akan telaah teater kontemporer di Salihara

Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Alviansyah Pasaribu
COPYRIGHT © ANTARA 2021

Tags

Related Post

Leave a Comment

Ads - Before Footer