Jakarta (ANTARA) – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut Indonesia masih dapat mengendalikan inflasi di saat sejumlah negara lain mengalami lonjakan harga barang dan jasa karena ketidakpastian global.
“Kita meskipun ada kenaikan sedikit, tapi masih bisa kita jaga dan kendalikan. Coba dilihat sudah ada negara yang inflasinya sudah di atas 70 persen,” kata Presiden dalam perayaan 50 tahun Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) 2022 di Balai Sidang Jakarta, Jumat.
Presiden menyampaikan, tidak hanya satu atau dua negara, tapi kini inflasi jadi momok semua negara, karena kenaikan harga barang pangan dan energi yang dipicu ketidakpastian global.
Jokowi kembali mencontohkan di negara maju seperti Amerika Serikat, inflasi telah meningkat hingga 8,3 persen dari tren biasanya di satu persen Sedangkan di Indonesia, inflasi tercatat 3,55 persen (year on year/yoy) hingga Mei 2022, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Presiden meminta semua pihak untuk peka terhadap krisis. Jangan sampai merasa kondisi normal sehingga mengurangi kewaspadaan.
“Diperkirakan ada 60 negara yang akan mengalami kesulitan dan ekonomi, diperkirakan mereka akan menjadi negara gagal kalau tidak bisa segera menyelesaikan masalah ekonominya. Ini yang perlu saya ingatkan kepada kita semua,” ujarnya.
“Jangan sampai kita merasa normal padahal keadaannya betul-betul pada situasi yang tidak normal ketidakpastian ini. Ini yang harus kita jaga semuanya,” ujar Jokowi menambahkan.
Ia menyebut ada dua masalah ekonomi saat ini, yakni kenaikan harga energi dan kenaikan harga pangan. Komoditas energi seperti batu bara, minyak, dan gas telah mengalami kenaikan harga di pasar global.
Begitu juga dengan harga komoditas pangan seperti kedelai, jagung dan gandum.
“Kedelai juga naik, jagung, kalau naik merembet ke mana-mana. Harga pakan naik, harga telur, harga ayam naik hati-hati, kedelai juga sama naik 33 persen, bisa harga tahu tempe naik berimbas ke inflasi. Ini yang perlu saya ingatkan hati-hati yang berkaitan dengan pangan,” kata Presiden Jokowi.
Sementara itu, nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta menjelang akhir pekan, ditutup menguat sebelum rilis data inflasi Amerika Serikat pada Jumat (10/6) malam ini.
Rupiah ditutup menguat 14 poin atau 0,09 persen ke posisi Rp14.553 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.567 per dolar AS.
“Dolar AS dan tingkat imbal hasil obligasi AS masih dalam tren penguatannya di tengah pasar yang mengantisipasi pengetatan kebijakan moneter yang agresif dari The Federal Reserve,” kata analis Monex Investindo Futures, Faisyal dalam kajiannya.
The Fed telah memperketat kebijakannya dengan menaikkan suku bunga. The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga pada Maret dan Mei masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) dan 50 bps, dan satu lagi kenaikan suku bunga jumbo diharapkan pekan depan.
Pelaku pasar akan mencari katalis dari data ekonomi AS seperti indeks harga konsumen (CPI) dan Core CPI yang dijadwalkan pukul 19:30 WIB dan Prelim UoM Consumer Sentiment pada pukul 21:00 WIB.
Dari Asia, kondisi pandemi COVID-19 di Tiongkok memburuk setelah Shanghai dan Beijing kembali memperingatkan terkait penyebaran COVID-19.
Beberapa bagian dari pusat ekonomi terbesar di Tiongkok memberlakukan pembatasan penguncian baru dan mengumumkan putaran pengujian massal lainnya untuk jutaan penduduk.
Rupiah pada pagi hari dibuka melemah ke posisi Rp14.575 per dolar AS. Sepanjang hari rupiah bergerak di kisaran Rp14.520 per dolar AS hingga Rp14.585 per dolar AS.
Sementara itu, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Jumat melemah ke posisi Rp14.569 per dolar AS dibandingkan posisi hari sebelumnya Rp14.555 per dolar AS.